pkssumut.or.id, Setelah PKS mencalonkan non muslim sebagai caleg, untuk
menunjukan komitmenya, bahwa sejak awal PKS adalah partai terbuka, dan
ingin mengharmonikan semua perbedaan yang ada di negara Indonesia, dalam
sebuah ikatan cinta dan kerja.
Kini langkah itu diikuti oleh PDIP, dengan menggaet, cendikiawan
Jalaludin Rakhmat, bahkan Jalal ditempatkan pada nomor kecil, caleg no 1
di dapil Jabar II, yang meliputi kabupaten Bandung dan Bandung Barat.
Bagi orang Bandung yang tinggal di Kiaracondong, tentu nama Jalaludin Rahmat tidak asing lagi, sebab ia adalah pemilik sekolah ‘Al-Muthahari’. Sekolah yang tergolong elit.
Jalaludin Rakhmat dikenal sebagai cendikiawan yang berlatar faham syiah dalam pemikiran islam, bahkan dikenal sangat getol, satu faham yang masih agak tabu ditengah-tengah umat islam Indonesia.
Karena itu, PDIP bahkan lebih terbuka dibanding partai Islam lainya, karena selama ini tidak ada satupun partai Islam yang mengakomodasi tokoh-tokoh syiah di internal partainya.
Bahkan bagi sebagian orang, syiah lebih mengerikan dibandingkan non-muslim, karena melihat fakta di negara-negara yang penduduknya bercampur antara suni dan syiah; yang suni malah dibantai, seperti suriah contohnya, oleh sebab itu tidak salah jika ada yang berfikir; PKS dengan pendeta mendapatkan pro-kontra, akan tetapi kenapa PDIP dengan tokoh syiah, tidak ada kontroversi, padahal menurutnya syiah lebih mengkhawatirkan? (maaf, tidak ada maksud menyinggung pihak manapun)
Akan tetapi di sisi lain, pertarungan di pemilu 2014 membuat semua partai semakin jeli melihat peluang, dan itulah yang dilakukan oleh PDIP. Dan keterbukaan adalah sebuah keniscayaan dan merupakan strategi politik yang jitu untuk saat ini, maka semua berlomba untuk menunjukan bahwa dirinya sebagai partai terbuka.
Partai islam lebih terbuka kepada nasionalis, demi untuk mengikis stigma bahwa selama ini partai islam adalah partai anti nasionalis dan tidak terbuka. Walau fakta sejarah berkata lain, kalangan santri selalu ada di garda terdepan bergandengan tangan dengan kalangan nasionalis, dalam membela tanah air dan selalu rela mengorbankan darah demi tanah air, yang itu menunjukan bahwa negara dan orang lain lebih dicintai dibanding nyawa sendiri.
Dan partai nasionalis lebih terbuka dan mulai membidik masa dari kalangan islam, dengan berbagai cara, walau dua haluan itu membuat publik heran dan bingung serta banyak yang bertanya-tanya atau menyimpulkan, bahwa semua partai telah kehilangan ideologinya.
Tapi bagi saya, buramnya garis demarkasi dalam masalah ideologi ini, adalah pertanda baik, dengan itu semua orang tidak akan terkotak-kotak dan dikotak-kotakan, bahwa si fulan dari partai islam dan si alan dari partai nasionalis, karena bukankah kotak tidak akan membuat kita berfikir diluar kotak.
Dan ketika semua orang tidak lagi dalam kotak, maka akan berpindah ke tataran ide dan gagasan bagaimana membangun bangsa, tentu berlandaskan ideologi, dan pertarungan ideologi akan berpindah dari tataran pemikiran ke dalam tataran aplikasi dan implementasi ideologi itu, dan itu lebih menarik.
Maka silahkan saja, PDIP dengan tokoh syiah dan PKS dengan pendeta, jika tokoh syiah dan pendeta itu tidak ada agenda tersembunyi, selain agenda untuk membangun bangsa dan memajukan negara, serta punya kapabilitas untuk itu.
Adi Andriana
http://politik.kompasiana.com
Bagi orang Bandung yang tinggal di Kiaracondong, tentu nama Jalaludin Rahmat tidak asing lagi, sebab ia adalah pemilik sekolah ‘Al-Muthahari’. Sekolah yang tergolong elit.
Jalaludin Rakhmat dikenal sebagai cendikiawan yang berlatar faham syiah dalam pemikiran islam, bahkan dikenal sangat getol, satu faham yang masih agak tabu ditengah-tengah umat islam Indonesia.
Karena itu, PDIP bahkan lebih terbuka dibanding partai Islam lainya, karena selama ini tidak ada satupun partai Islam yang mengakomodasi tokoh-tokoh syiah di internal partainya.
Bahkan bagi sebagian orang, syiah lebih mengerikan dibandingkan non-muslim, karena melihat fakta di negara-negara yang penduduknya bercampur antara suni dan syiah; yang suni malah dibantai, seperti suriah contohnya, oleh sebab itu tidak salah jika ada yang berfikir; PKS dengan pendeta mendapatkan pro-kontra, akan tetapi kenapa PDIP dengan tokoh syiah, tidak ada kontroversi, padahal menurutnya syiah lebih mengkhawatirkan? (maaf, tidak ada maksud menyinggung pihak manapun)
Akan tetapi di sisi lain, pertarungan di pemilu 2014 membuat semua partai semakin jeli melihat peluang, dan itulah yang dilakukan oleh PDIP. Dan keterbukaan adalah sebuah keniscayaan dan merupakan strategi politik yang jitu untuk saat ini, maka semua berlomba untuk menunjukan bahwa dirinya sebagai partai terbuka.
Partai islam lebih terbuka kepada nasionalis, demi untuk mengikis stigma bahwa selama ini partai islam adalah partai anti nasionalis dan tidak terbuka. Walau fakta sejarah berkata lain, kalangan santri selalu ada di garda terdepan bergandengan tangan dengan kalangan nasionalis, dalam membela tanah air dan selalu rela mengorbankan darah demi tanah air, yang itu menunjukan bahwa negara dan orang lain lebih dicintai dibanding nyawa sendiri.
Dan partai nasionalis lebih terbuka dan mulai membidik masa dari kalangan islam, dengan berbagai cara, walau dua haluan itu membuat publik heran dan bingung serta banyak yang bertanya-tanya atau menyimpulkan, bahwa semua partai telah kehilangan ideologinya.
Tapi bagi saya, buramnya garis demarkasi dalam masalah ideologi ini, adalah pertanda baik, dengan itu semua orang tidak akan terkotak-kotak dan dikotak-kotakan, bahwa si fulan dari partai islam dan si alan dari partai nasionalis, karena bukankah kotak tidak akan membuat kita berfikir diluar kotak.
Dan ketika semua orang tidak lagi dalam kotak, maka akan berpindah ke tataran ide dan gagasan bagaimana membangun bangsa, tentu berlandaskan ideologi, dan pertarungan ideologi akan berpindah dari tataran pemikiran ke dalam tataran aplikasi dan implementasi ideologi itu, dan itu lebih menarik.
Maka silahkan saja, PDIP dengan tokoh syiah dan PKS dengan pendeta, jika tokoh syiah dan pendeta itu tidak ada agenda tersembunyi, selain agenda untuk membangun bangsa dan memajukan negara, serta punya kapabilitas untuk itu.
Adi Andriana
http://politik.kompasiana.com
Posting Komentar