Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Herman segera menekan pedal gas
kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ
cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.
Kebetulan
jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hatinya
berdebar, berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter
menjelang garis jalan, lampu merah menyala.
Herman
bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya
kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Priiiiiiiiit!
Di
seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti.
Herman menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati.
Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu kan Dedi, teman mainnya semasa SMA dulu. Hatinya agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Ded. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Her.” Jawabnya ringkas tanpa senyum.
“Waduh, sepertinya saya kena tilang nih? Sorry ded, saya lagi buru-buru, soalnya Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” tampaknya polisi itu agak ragu.
“Her, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
“Jadi,
kamu mau menilangku nih ceritanya? Tapi bener deh, aku tadi tidak
sengaja melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih
menyala.” Terkadang berdusta sedikit kan nggak apa-apa, pikirnya.
“Nggak usah begitu kawan, saya melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM kamu.”
Dengan gusar Herman menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara
polisi itu menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian
Dedi mengetuk kaca jendela. Herman memandangi wajah Dedi dengan penuh
kekecewaan. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah
cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Dedi kembali ke
posnya.
Herman
mengambil surat tilang yang diselipkan Dedi di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM nya dikembalikan utuh bersama sebuah
nota. Kenapa ia tidak menilangku, pikirnya. Lalu nota ini apa? Semacam
guyonan atau apa? Buru-buru Herman membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan kawan lamanya itu.
To : Herman
Tahukah
kamu Her, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Saat aku tengah
berbahagia dengan kelucuannya, Tiba-tiba Allah memanggilnya. Ia
meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Kamu
tahu Her? Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia
bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami
satu-satunya sudah tiada.
Kami
berdua berusaha untuk melupakannya, dan masih menyimpan sedikit harapan
agar Allah berkenan mengkaruniai seorang anak yang bisa kami peluk.
Tetapi
ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Ribuan kali juga hati
kami teriris mengingatnya. Betapa sulitnya Sobat, Begitu juga kali ini.
Maafkan aku kawan. Doakan agar permohonan kami dikabulkan di usia kami yang semakin senja. Berhati-hatilah.
Dari temanmu
Dedi.
Herman
terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari temannya. Namun,
Dedi sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang
ia mengemudi perlahan dengan hati sungguh tak menentu.
Posting Komentar