Seluruh
penumpang di dalam bus merasa simpati melihat seorang wanita muda
dengan tongkatnya meraba-raba menaiki tangga bus. Dengan tangannya yang
lain di meraba posisi dimana sopir berada, dan membayar ongkos bus. Lalu berjalan ke Dalam bus mencari-cari bangku yang kosong dengan tangannya.
Setelah
yakin bangku yang dirabanya kosong, dia duduk. Meletakkan tasnya di
atas pangkuan, dan satu tangannya masih memegang tongkat.
Satu
tahun sudah, Yasmin, wanita muda itu, mengalami buta. Suatu kecelakaan
telah berlaku atasnya, dan menghilangkan penglihatannya untuk
selama-lamanya. Dunia tiba-tiba saja menjadi gelap dan segala harapan
dan cita-cita menjadi sirna. Dia adalah wanita yang penuh dengan ambisi
menaklukan dunia, aktif di segala perkumpulan, baik di sekolah, rumah
maupun di lingkungannya.
Tiba-tiba
saja semuanya sirna, begitu kecelakaan itu dialaminya. Kegelapan,
frustrasi, dan rendah diri tiba-tiba saja menyelimuti jiwanya. Hilang
sudah masa depan yang selama ini dicita-citakan.
Merasa
tak berguna dan tak ada seorang pun yang sanggup menolongnya selalu
membisiki hatinya. “Bagaimana ini bisa terjadi padaku?” dia menangis.
Hatinya protes, diliputi kemarahan dan putus asa. Tapi, tak peduli
sebanyak apa pun dia mengeluh dan menangis, sebanyak apa pun dia protes,
sebanyak apapun dia berdo’a dan memohon, dia harus tahu, penglihatannya tak akan kembali.
Diantara
frustrasi, depresi dan putus asa, dia masih beruntung, karena mempunyai
suami yang begitu penyayang dan setia, Burhan. Burhan adalah seorang
prajurit TNI biasa yg bekerja sebagai security
di sebuah perusahaan. Dia mencintai Yasmin dg seluruh hatinya. Ketika
mengetahui Yasmin kehilangan penglihatan, rasa cintanya tidak berkurang.
Justru
perhatiannya makin bertambah, ketika dilihatnya Yasmin tenggelam
kedalam jurang keputus-asaan. Burhan ingin menolong mengembalikan rasa
percaya diri Yasmin, seperti ketika Yasmin belum menjadi buta.
Burhan
tahu, ini adalah perjuangan yang tidak gampang. Butuh extra waktu dan
kesabaran yg tidak sedikit. Karena buta, Yasmin tidak bisa terus bekerja
di perusahaannya. Dia berhenti dengan terhormat. Burhan mendorongnya
supaya belajar huruf Braile. Dengan harapan, suatu saat bisa berguna
untuk masa depan. Tapi bagaimana Yasmin bisa belajar? Sedangkan untuk
pergi ke mana-mana saja selalu diantar Burhan?
Dunia
ini begitu gelap. Tak ada kesempatan sedikitpun untuk bisa melihat
jalan. Dulu, sebelum menjadi buta, dia memang biasa naik bus ke tempat kerja
dan ke mana saja sendirian. Tapi kini, ketika buta, apa sanggup dia
naik bus sendirian? Berjalan sendirian? Pulang-pergi sendirian? Siapa
yang akan melindunginya ketika sendirian? Begitulah yang berkecamuk di
dalam hati Yasmin yg putus asa. Tapi Burhan membimbing Jiwa Yasmin yg
sedang frustasi dg sabar. Dia merelakan dirinya untuk mengantar Yasmin
ke sekolah, di mana Yasmin musti belajar huruf Braile.
Dengan
sabar Burhan menuntun Yasmin menaiki bus kota menuju sekolah yang
dituju. Dengan Susah payah dan tertatih-tatih Yasmin melangkah bersama
tongkatnya. Sementara Burhan berada di sampingnya. Selesai mengantar
Yasmin dia menuju tempat dinas. Begitulah, selama berhari-hari dan
berminggu-minggu Burhan mengantar dan menjemput Yasmin. Lengkap dengan seragam dinas security.
Tapi
lama-kelamaan Burhan sadar, tak mungkin selamanya Yasmin harus diantar;
pulang dan pergi. Bagaimanapun juga Yasmin harus bisa mandiri, tak
mungkin selamanya mengandalkan dirinya. Sebab dia juga punya pekerjaan
yg harus dijalaninya. Dengan hati-hati dia mengutarakan maksudnya,
supaya Yasmin tak tersinggung dan merasa dibuang. Sebab Yasmin,
bagaimanapun juga masih terpukul dengan musibah yg dialaminya.
Seperti
yg diramalkan Burhan, Yasmin histeris mendengar itu. Dia merasa dirinya
kini benar-benar telah tercampakkan. “Saya buta, tak bisa melihat!”
teriak Yasmin. “Bagaimana saya bisa tahu saya ada di mana? Kamu telah
benar-benar meninggalkan saya.” Burhan hancur hatinya mendengar itu.
Tapi dia sadar apa yang musti dilakukan.
Mau
tak mau Yasmin musti terima. Musti mau menjadi wanita yg mandiri.
Burhan tak melepas begitu saja Yasmin. Setiap pagi, dia mengantar Yasmin
menuju halte bus. Dan setelah dua minggu, Yasmin akhirnya bisa
berangkat sendiri ke halte. Berjalan dengan tongkatnya. Burhan
menasehatinya agar mengandalkan indera pendengarannya, di manapun dia
berada.
Setelah
dirasanya yakin bahwa Yasmin bisa pergi sendiri, dengan tenang Burhan
pergi ke tempat dinas. Sementara Yasmin merasa bersyukur bahwa selama
ini dia mempunyai suami yang begitu setia dan sabar membimbingnya.
Memang tak mungkin bagi Burhan untuk terus selalu menemani setiap saat
ke manapun dia pergi. Tak mungkin juga selalu Diantar ke tempatnya
belajar, sebab Burhan juga punya pekerjaan yg harus dilakoni.
Dan
dia adalah wanita yg dulu, sebelum buta, tak pernah menyerah pada
tantangan dan wanita yg tak bisa diam saja. Kini dia harus menjadi
Yasmin yg dulu, yg tegar dan menyukai tantangan dan suka bekerja dan
belajar. Hari-hari pun berlalu. Dan sudah beberapa minggu Yasmin
menjalani rutinitasnya belajar, dengan mengendarai bus kota sendirian.
Suatu
hari, ketika dia hendak turun dari bus, sopir bus berkata, “saya
sungguh iri padamu”. Yasmin tidak yakin, kalau sopir itu bicara padanya.
“Anda bicara pada saya?” ” Ya”, jawab sopir bus. “Saya benar-benar iri
padamu”. Yasmin kebingungan, heran dan tak habis berpikir, bagaimana
bisa di dunia ini, seorang buta, wanita buta, yg berjalan terseok-seok
dengan tongkatnya hanya sekedar mencari keberanian mengisi sisa
hidupnya, membuat orang lain merasa iri? “Apa maksud anda?”
Yasmin
bertanya penuh keheranan pada sopir itu. “Kamu tahu,” jawab sopir bus,
“Setiap pagi, sejak beberapa minggu ini, seorang lelaki muda dengan
seragam militer selalu berdiri di sebrang jalan. Dia memperhatikanmu
dengan harap-harap cemas ketika kamu menuruni tangga bus. Dan ketika
kamu menyebrang jalan, dia perhatikan langkahmu dan bibirnya tersenyum
puas begitu kamu telah melewati jalan itu. Begitu kamu masuk gedung
sekolahmu, dia meniupkan ciumannya padamu, memberimu salut, dan pergi
dari situ. Kamu sungguh wanita beruntung, ada yang memperhatikan dan
melindungimu”.
Air mata bahagia mengalir di pipi Yasmin. Walaupun dia tidak melihat orang
tersebut, dia yakin dan merasakan kehadiran Burhan di sana. Dia merasa
begitu beruntung, sangat beruntung, bahwa Burhan telah memberinya
sesuatu yang lebih berharga dari penglihatan. Sebuah pemberian yang tak
perlu untuk dilihat; kasih sayang yang membawa cahaya, ketika dia berada
dalam kegelapan
Posting Komentar