Kendati
dirinya telah keliling dunia, bahkan hampir tidak ada negara baru di
dalam peta yang belum disinggahinya, dan karena terlalu sering naik
pesawat terbang sehingga terasa seperti naik mobil biasa, namun tidak
buat istrinya, ia belum pernah naik pesawat terbang sekalipun kecuali
pada malam itu.
Hal itu terjadi setelah beberapa tahun pernikahan mereka. Ya, perjalanan dari Dahran ke Riyadh dengan adiknya yang orang desa tapi bersahaja, yang merasa dirinya harus menyenangkan hati kakaknya dengan semampunya.
Ia
membawa wanita itu dengan mobil bututnya dari Riyadh menuju Dammam.
Pada waktu pulang, wanita itu berharap kepadanya agar ia naik pesawat
terbang. Wanita itu ingin naik pesawat terbang sebelum meninggal. Ia
ingin naik pesawat terbang yang selalu dinaiki Khalid, suaminya, dan
yang ia lihat di langit dan di televisi.
Sang adik mengabulkan keinginannya dan membeli tiket
untuknya. Ia menyertakan putranya sebagai mahramnya. Sementara ia
pulang sendirian dengan mobil sambil diguncang oleh perasaan dalam
mobilnya.
Malam
setelah perjalanan itu Sarah tidak tidur, melainkan bercerita kepada
suaminya, Khalid, selama satu jam tentang pesawat terbang. Ia bercerita
tentang pintu masuknya, tempat duduknya, penerangannya, kemegahannya,
hidangannya, dan bagaimana pesawat itu terbang di udara.
Terbang!! Ia bercerita sambil tercengang. Seolah-olah ia baru datang dari planet
lain. Tercengang, terkesima, dan berbinar-binar. Sementara suaminya
memandanginya dengan perasaan heran. Begitu selesai bercerita tentang
pesawat terbang, ia langsung bercerita tentang kota Dammam dan
perjalanan ke sana dari awal sampai akhir. Juga tentang laut yang baru
pertama kali dilihatnya sepanjang hidupnya. Dan juga tentang jalan yang
panjang dan indah antara Riyadh dan Dammam saat ia berangkat.
Sedangkan
saat pulang ia naik pesawat terbang. Pesawat terbang yang tidak akan
pernah ia lupakan unuk selama-lamanya. Ia berlutut seperti bocah kecil
yang melihat kota-kota terbesar untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Ia
mulai bercerita kepada suaminya dengan mata yang berbinar penuh
ketakjuban dan kebahagiaan. Ia melihat jalan raya, pusat perbelanjaan,
manusia, batu, pasir, dan restoran.
Juga
bagaimana laut berombak dan berbuih bagaikan onta yang berjalan. Dan
bagaimana ia meletakkan kedua tangannya di air laut dan ia pun
mencicipinya. Ternyata asin… asin. Pun, ia bercerita bagaimana laut
tampak hitam di siang hari dan tampak biru di malam hari. “Aku melihat
ikan, Khalid! Aku melihatnya dengan mata kepalaku. Aku mendekat ke
pantai. Adikku menangkap seekor ikan untukku dengan sesuatu, tapi aku
kasihan padanya dan kulepaskan lagi ke air.
Ikan
itu kecil dan lemah. Aku kasihan pada ibunya dan juga padanya.
Seandainya aku tidak malu, Khalid, pasti aku membangun rumah-rumahan di
tepi laut itu. Aku melihat anak-anak membangun rumah-rumahan di sana. Oh
ya, aku lupa, Khalid!” ia langsung bangkit, lalu mengambil tasnya, dan
membukanya.
Ia mengeluarkan SEBOTOL PARFUM kecil dan memberikannya kepada sang suami. Ia merasa seolah-olah sedang memberikan dunia. Ia berkata, “Ini hadiah untukmu dariku. Aku juga membawakanmu SANDAL untuk kau pakai di kamar mandi.”
Air
mata hampir menetes dari mata Khalid untuk pertama kali. Untuk pertama
kalinya dalam hubungannya dengan Sarah dan perkawinannya dengan sang istri. Ia sudah berkeliling dunia tapi tidak pernah sekalipun memberikan hadiah kepada sang istri. Ia sudah naik sebagian besar maskapai penerbangan di dunia, tapi tidak pernah sekalipun mengajak sang
istri pergi bersamanya. Karena, ia mengira bahwa wanita itu bodoh dan
buta huruf. Apa perlunya melihat dunia dan bepergian? Mengapa ia harus
mengajaknya pergi bersama?
Ia
lupa bahwa wanita itu adalah manusia. Manusia dari awal sampai akhir.
Dan kemanusiaannya saat ini tengah bersinar di hadapannya, sedang
menghunjam nuraninya dan bergejolak di dalam hatinya. Ia melihat
istrinya membawakan hadiah untuknya dan tidak melupakannya.
Betapa
besarnya perbedaan antara uang yang ia berikan kepada istrinya saat ia
berangkat bepergian atau pulang, dengan hadiah yang diberikan sang istri kepadanya dalam perjalanan satu-satunya yang dilakukan sang istri. Bagi Khalid, sandal pemberian sang istri itu setara dengan semua uang yang pernah ia berikan kepadanya.
Karena uang dari suami adalah kewajiban,
sedangkan HADIAH adalah sesuatu yang lain.
Ia
merasakan kesedihan tengah meremas hatinya, nuraninya tergores saat
melihat wanita yang penyabar itu. Wanita yang selalu mencuci bajunya,
menyiapkan piringnya, melahirkan anak-anaknya, mendampingi hidupnya dan
tidak tidur saat ia sakit. Wanita itu seolah-olah baru pertama kali
melihat dunia. Tidak pernah terlintas di benak wanita itu untuk
mengatakan kepadanya, “Ajaklah aku pergi bersamamu!” Atau bahkan,
“Mengapa ia tidak pernah bepergian?” Karena ia adalah wanita miskin yang
melihat suaminya di atas karena pendidikannya, wawasannya, dan
kedermawanannya.
Tapi
ternyata bagi Khalid, semua itu kini menjadi hampa, tanpa rasa dan
tanpa hati. Ia merasa bahwa dirinya telah memenjara seorang wanita yang
tidak berdosa selama sekian tahun yang hari-harinya berjalan monoton.
Kemudian,
Khalid mengusap matanya untuk menutupi air matanya yang nyaris tak
tertahan. Dan ia mengucapkan satu kata kepada istrinya. Satu kata yang
diucapkannya untuk pertama kalinya dalam hidupnya dan tidak pernah
terbayang di dalam benaknya bahwa ia akan mengatakannya sampai kapan
pun. Ia berkata perlahan kepada istrinya, “Aku mencintaimu
Istriku.........sungguh aku mencintaimu.” Ucapan tulus yang keluar dari
lubuk hatinya yang paling dalam sembari menahan gemuruh didalam dadanya.
Kedua tangan sang
istri berhenti membolak-balik tas itu. Mulutnya pun berhenti bercerita.
Ia merasa bahwa dirinya telah masuk ke dalam perjalanan lain yang lebih
menakjubkan dan lebih nikmat daripada kota Dammam, laut, dan pesawat
terbang. Yaitu, perjalanan cinta yang baru dimulai setelah sekian tahun
menikah. Perjalanan yang dimulai dengan satu kata. Satu kata yang jujur.
Ia pun menangis tersedu-sedu.
Posting Komentar