Akhir tahun 2003 silam, istri saya selama 11 malam tidak bisa tidur. Saya sudah berusaha membantu
agar istri saya bisa tidur, dengan membelai, diusap-usap, masih susah
tidur juga. Sungguh cobaan yang sangat berat. Sampai akhirnya saya
membawa istri saya ke RS Citra Insani yang kebetulan dekat dengan rumah
saya.
Sudah
3 hari diperiksa tapi dokter tidak menemukan penyakit istri saya.
Kemudian saya pindahkan istri saya ke RS Azra, Bogor. Selama berada di
RS Azra, istri saya badannya panas dan selalu kehausan sehingga setiap
malam minum 3 galon air Aqua 1 literan. Setelah dirawat 3 bulan di RS
Azra, penyakit istri saya belum juga diketahui penyakitnya.
Akhirnya saya putuskan untuk pindah ke RS Harapan Mereka di Jakarta
dan langsung di rawat di ruang ICU. Satu malam berada di ruang ICU
pada waktu itu senilai Rp 2,5 juta. Badan istri saya –maaf- tidak
memakai sehelai pakaian pun. Dengan ditutupi kain, badan istri saya
penuh dengan kabel yang disambungkan ke monitor
untuk mengetahui keadaan istri saya. Selama 3 minggu penyakit istri
saya belum bisa teridentifikasi, tidak diketahui penyakit apa
sebenarnya.
Kemudian
pada minggu ke-tiga, seorang dokter yang menangani istri saya menemui
saya dan bertanya, “Pak Jamil, kami minta izin kepada pak Jamil untuk
mengganti obat istri bapak.”
“Dok,
kenapa hari ini dokter minta izin kepada saya, padahal setiap hari saya
memang gonta-ganti mencari obat untuk istri saya, lalu kenapa hari ini
dokter minta izin ?”
“Ini beda pak Jamil. Obatnya lebih mahal dan obat ini nantinya disuntikkan ke istri bapak.”
“Berapa harganya dok?”
“Obat untuk satu kali suntik 12 juta pak.”
“Satu hari berapa kali suntik dok?”
“Sehari 3 kali suntik.”
“Berarti sehari 36 juta dok?”
“Iya pak Jamil.”
“Dok,
36 juta bagi saya itu besar sedangkan tabungan saya sekarang hampir
habis untuk menyembuhkan istri saya. Tolong dok, periksa istri saya
sekali lagi. Tolong temukan penyakit istri saya dok.”
“Pak
Jamil, kami juga sudah berusaha namun kami belum menemukan penyakit
istri bapak. Kami sudah mendatangkan perlengkapan dari RS Cipto dan
banyak laboratorium namun penyakit istri bapak tidak ketahuan.”
“Tolong dok…., coba dokter periksa sekali lagi. Dokter yang memeriksa dan saya akan berdoa kepada Rabb saya. Tolong dok dicari”
“Pak
Jamil, janji ya kalau setelah pemeriksaan ini kami tidak juga menemukan
penyakit istri bapak, maka dengan terpaksa kami akan mengganti
obatnya.” Kemudian dokter memeriksa lagi.
“Iya dok.”
Setelah itu saya pergi ke mushola untuk shalat dhuha dua raka’at. Selesai shalat dhuha, saya berdoa dengan menengadahkan tangan memohon kepada Allah, -setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasululloh,
“Ya
Allah, ya Tuhanku….., gerangan maksiat apa yang aku lakukan. dosa apa
yang aku lakukan sehingga engkau menguji aku dengan penyakit istriku
yang tak kunjung sembuh. Ya Allah, aku sudah lelah. Tunjukkanlah
kepadaku ya Allah, dosa apakah yang aku lakukan sehingga istriku sakit
tak kunjung sembuh? sembuhkanlah istriku ya Allah. Bagimu amat mudah
menyembuhkan penyakit istriku semudah Engkau mengatur Milyaran planet di muka bumi ini ya Allah.”
Kemudian
secara tiba-tiba ketika saya berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa
yang pernah aku lakukan? Gerangan dosa apa yang aku lakukan sehingga aku
diuji dengan penyakit istriku tak kunjung sembuh?” mendadak saya
teringat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu ketika saya
mengambil uang ibu sebanyak Rp150,-.
Dulu,
ketika kelas 6 SD, SPP saya menunggak 3 bulan. Pada waktu itu SPP
bulanannya adalah Rp 25,-. Setiap pagi wali kelas memanggil dan
menanyakan saya, “JaMil, kapan membayar SPP ? JaMil, kapan membayar SPP ? JaMil, kapan membayar
SPP ?” Malu saya. Dan ketika waktu istrirahat saya pulang dari sekolah,
saya menemukan ada uang Rp150,- di bawah bantal ibu saya. Saya
mengambilnya. Rp75,- untuk membayar SPP dan Rp75,- saya gunakan untuk jajan.
Saya
kemudian bertanya, kenapa ketika berdoa tadi, tiba tiba saya diingatkan
dengan kejadian kelas 6 SD dulu ketika saya mengambil uang ibu. Padahal
saya hampir tidak lagi mengingatnya ??. Maka saya berkesimpulan mungkin
ini petunjuk dari Allah. Mungkin inilah yang menyebabkan istri saya
sakit tak kunjung sembuh dan tabungan saya hampir habis. Setelah itu
saya menelpon ibu saya,
“Assalamu’alaikum Ma…”
“Wa’alaikumus salam Mil….” Jawab ibu saya.
“Bagaimana kabarnya Ma ?”
“Ibu baik-baik saja Mil.”
“Trus, bagaimana kabarnya anak-anak Ma ?”
“Mil, mama
jauh-jauh dari Lampung ke Bogor untuk menjaga anak-anakmu. Sudah kamu
tidak usah memikirkan anak-anakmu, kamu cukup memikirkan istrimu saja.
Bagaimana kabar istrimu Mil, bagaimana kabar Ria nak ?” –dengan suara terbata-bata dan menahan sesenggukan isak tangisnya-.
“Belum sembuh Ma.”
“Yang sabar ya Mil.”
Setelah lama berbincang sana-sini –dengan menyeka butiran air mata yang keluar-, saya bertanya, “Ma…, Mama masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ?”
“Yang mana Mil ?”
“Kejadian ketika Mama kehilangan uang Rp150,- yang tersimpan di bawah bantal ?”
Kemudian di balik ujung telephon yang nun jauh di sana, Mama berteriak.
“Mil, sampai Mama meninggal, Mama tidak akan melupakannya.” (suara mama semakin pilu dan menyayat hati),
“Gara-gara uang itu hilang, mama dicaci-maki di depan banyak orang. Gara-gara uang itu hilang mama dihina dan direndahkan di depan banyak orang. Pada waktu itu mama punya hutang sama orang kaya di kampung kita Mil. Uang itu sudah siap dan mama simpan di bawah bantal namun ketika mama pulang, uang itu sudah tidak ada. Mama memberanikan diri mendatangi orang kaya itu, dan memohon maaf karena uang yang sudah mama siapkan hilang. Mendengar alasan mama, orang itu merendahkan mama Mil. Orang itu mencaci-maki mama Mil. Orang itu menghina mama Mil, padahal di situ banyak orang. …rasanya Mil. Mamamu direndahkan di depan banyak orang padahal bapakmu pada waktu itu guru ngaji di kampung kita Mil tetapi mama dihinakan di depan banyak orang. SAKIT…. SAKIT… SAKIT rasanya. Mil”
Tenggorokanku
tercekat, menahan air mataku yang nyaris tumpah membayangkan dan
mendengar penderitaan serta sakit hati yang dialami mama pada waktu itu, saya bertanya, “Mama tahu siapa yang mengambil uang itu ?”
“Tidak tahu Mil…Mama tidak tahu.”
Maka dengan mengakui semua kesalahan, saya menjawab dengan suara serak,
“Ma, yang mengambil uang itu saya Ma….., maka melalui telphon ini saya memohon keikhlasan Mama. Ma, tolong maafkan Jamil Ma…., Jamil berjanji nanti kalau bertemu sama Mama, Jamil akan sungkem sama mama. Maafkan saya Ma, maafkan saya….”
Kembali terdengar suara jeritan dari ujung telephon sana,
“Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim…..Ya Allah ya Tuhanku, aku maafkan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Maafkanlah dia ya Allah, ridhailah dia ya Rahman, ampunilah dia ya Allah.”
“Ma, benar mama sudah memaafkan saya ?”
“Mil, bukan kamu yang harus meminta maaf. Mama yang seharusnya minta maaf sama kamu Mil karena terlalu lama mama memendam dendam ini. Mama tidak tahu kalau yang mengambil uang itu adalah kamu Mil.”
“Ma, tolong maafkan saya Ma. Maafkan saya Ma?”
“Mil, sudah lupakan semuanya. Semua kesalahanmu telah saya maafkan, termasuk mengambil uang itu.”
“Ma, tolong iringi dengan doa untuk istri saya Ma agar cepat sembuh.”
“Ya Allah, ya Tuhanku….pada hari ini aku telah memaafkan kesalahan orang
yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Dan juga semua
kesalahan-kesalahannya yang lain. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit
menantu dan istri putraku ya Allah.”
Setelah itu, saya tutup telephon dengan mengucapkan terima kasih kepada mama.
Dan itu selesai pada pukul 10.00 wib, dan pada pukul 11.45 wib seorang
dokter mendatangi saya sembari berkata, “Selamat pak Jamil. Penyakit
istri bapak sudah ketahuan.”
“Apa dok?”
“Infeksi pankreas.”
Saya
terus memeluk dokter tersebut dengan berlinang air mata kebahagiaan,
“Terima kasih dokter, terima kasih dokter. Terima kasih, terima kasih
dok.”
Selesai
memeluk, dokter itu berkata, “Pak Jamil, kalau boleh jujur, sebenarnya
pemeriksaan yang kami lakukan sama dengan sebelumnya. Namun pada hari
ini terjadi keajaiban, istri bapak terkena infeksi prankreas. Dan kami
meminta izin kepada pak Jamil untuk mengoperasi cesar istri bapak
terlebih dahulu mengeluarkan janin yang sudah berusia 8 bulan. Setelah
itu baru kita operasi agar lebih mudah.”
Setelah
selesai, dan saya pastikan istri dan anak saya selamat, saya kembali ke
Bogor untuk sungkem kepada mama bersimpuh meminta maaf kepadanya,
“Terima kasih Ma…., terima kasih Ma.”
Namun….,
itulah hebatnya seorang ibu. Saya yang bersalah namun justru mama yang
meminta maaf. “Bukan kamu yang harus meminta maaf Mil, Mama yang
seharusnya minta maaf.”
Posting Komentar